Akar Permasalahan Bangsa Indonesia; Perspektif Hukum

Penulis: Alfan I. Djabar

Indonesia adalah negara hukum, hal ini sejalan dengan Undang-undang Dasar (UUD) pasal 1 ayat 3. Sesuai dengan konstitusi tersebut, maka permasalahan bangsa ini dimulai dari hukum yang lumpuh sejak awal. Hukum yang tidak berpihak kepada kelas pekerja, dan hukum yang suka memenjarakan pencuri yang kelaparan, dibandingkan memenjarakan  pencuri kekenyangan (koruptor). Sekilas hukum di negara ini terlihat ada daya tawarnya, seperti transaksi jual beli di dalam ilmu ekonomi. 

Kembali ke permasalahan bangsa Indonesia, jika ditanya kepada masyarakat mengenai dengan permasalahan yang ada di Indonesia, beragam jawaban kemudian bermunculan mulai dari permasalahan ekonomi, hukum, hak asasi manusia, kesehatan, pendidikan, budaya, politik, dan yang sejenisnya. Keseluruhan jawaban di atas, tentu tidak ada yang salah, tapi itu hanya bagian dari cabang permasalahannya. Sedangkan akar permasalahannya?

Negara ibarat pohon, jika akarnya kuat dan tidak ada masalah terhadap akarnya, maka pohon tersebut akan tumbuh menjadi pohon yang besar. Tetapi jika akar pohon tersebut dari awal sudah bermasalah, maka nantinya akan mempengaruhi seluruh bagian yang terdapat dari pohon, mulai dari akar hingga pada ujung ranting. Dan jika kita tidak segera mengatasi permasalahan yang ada pada akar, maka lambat laut pohon itu akan tumbang dengan sendirinya, bahkan sebelum pohon itu tumbuh menjadi pohon yang besar. 

Historis Singkat Pembentukan Undang-Undang Dasar 1945

Sebelum menceritakan sejarah pembentukan UUD 1945, terlebih dahulu kita ketahui cara pembuatan atau proses perumusan Undang-Undang (UU). Di dalam perumusan UU harus memuat tiga unsur utama yaitu; unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis. Ketiga unsur tersebut, merupakan syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Dalam pembuatan UU juga harus menghargai beberapa aspek diantaranya yaitu Hak Asasi Manusia (HAM), Persatuan, Musyawarah, Keadilan dan Sebagainya. Kembali ke sejarah pembentukan UUD 1945. 

Dalam sejarahnya, latar belakang terbentuknya konstitusi (UUD 45) bermula dari janji jepang untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di kemudian hari. Janji tersebut antara lain berisi “sejak dari dahulu, sebelum pecahnya peperangan asia timur raya, Dai Nippon sudah mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Tentara Dai Nippon. Serentak menggerakkan Angkatan perangnya, baik di darat, laut, maupun udara, untuk menghadiri kekuasaan penjajahan Belanda”. 

Namun janji hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah yang selalu ingin lebih lama menindas dan menguras kekayaan bangsa Indonesia. Singkatnya, pasca kemerdekaan Republik Indonesia diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi tampak tak bisa lagi ditawar-tawar dan harus segera diformulasikan, sehingga lengkaplah Indonesia menjadi negara yang berdaulat tatkala UUD 1945 berhasil diresmikan menjadi konstitusi oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 (vivajusticia.law.ugm.ac.id).

Letak Akar Permasalahan Bangsa Indonesia di Dalam UUD 1945

Jika dilihat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bab I, Pasal I Ayat II Bahwa Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan, Bab II Pasal II Ayat I menjelaskan bahwa, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. 

Akar permasalahan yang pertama, berkaitan dengan pasal I ayat II bahwa jika dianalisis lebih jauh bahwa kedaulatan rakyat itu ada ditangan rakyat, tetapi rakyat tidak sepenuhnya berdaulat, karena kedaulatan itu dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sedangkan di dalam MPR diisi oleh DPR dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan pasal berikutnya, yaitu Pasal II ayat I. Akar permasalahan yang kedua, kita ketahui secara bersama bahwa, jika ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan yang sejenisnya harus melalui partai politik, dalam artian sederhana bahwa jika tidak bergabung ke partai politik maka tidak bisa mencalonkan diri. 

Jadi secara tidak langsung bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu tidak mewakili rakyat tapi mewakili kepentingan partai politik borjuasi yang ada. Selain itu, wajah DPR dan MPR saat ini tidak lagi mendapatkan hati dan tempat di masyarakat, dibuktikan dengan menurunnya tingkat kepercayaan terhadap para anggota dewan yang berada di parlemen. Singkatnya, mulai dari permasalahan di atas kemudian lahirlah permasalahan-permasalahan dibidang sosial, ekonomi, politik, hukum, kesehatan, pendidikan, dan yang lain.

Sebagai penutup, berkaitan dengan kedua pasal di atas, penulis menduga bahwa Bapak Proklamasi (Soekarno) sudah mengetahui mengenai dengan permasalahan pasal tersebut, tetapi lebih memilih diam dan tidak mau melakukan perubahan terhadap kedua pasal tersebut. Sebab, dia berharap suatu saat kaum muda yang akan melakukan perubahan terhadap pasal-pasal yang tidak bersesuaian tersebut. Yes Or No?


Oiya, buat yang pengen tau keseharian penulis, follow aja sosmed di bawah ini... 




Komentar

Bakti Terakhir Untuk Ayah

Bakti Terakhir Untuk Ayah (Part 3)