PESONA PULAU WIDI DAN UPAYA KAPITALISASI

Penulis : Kasir Hadi (salah satu mahasiswa dari desa Maffa Kec. Gane Timur) 
Editor : Alfan I. Djabar


                    pemandangan pulau Widi 


Pulau Widi merupakan sebuah pulau yang terletak di Desa Gane Luar, Kecamatan Gane Timur Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Di kutip dari laman resmi  Kabupaten Halmahera Selatan bahwa kepulauan widi merupakan pulau dengan gugusan 100 pulau yang berada dalam konservasi laut dengan keseluruhan 315 ribu hektar dan 10 ribu hektar hutan, mangrove, danau dan laguna.  

Pesona pulau widi yang dipenuhi dengan gugusan pulau-pulau dan hamparan pasir putih yang membentang berpadu dengan air laut  selalu membuat takjub para pengunjung. Sejauh mata memandang selalu ada kesan indah yang membuat orang-orang terkagum. Dengan demikian pulau widi bisa dibilang ialah kepingan surga di laut selatan Halmahera, Maluku Utara. 

Keberadaan pulau widi ini juga sangat bermanfaat buat masyarakat sekitar khususnya masyarakat Gane yang berprofesi sebagai nelayan, dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka, karena pulau widi sendiri memiliki potensi perikanan yang begitu besar. Tetapi sayangnya, belum lama ini kita di hebohkan dengan berita pelelangan pulau widi di situs asing Sotheby’s Concierge Auctions, dilansir dari situs ini bahwa penawaran lelang mulai dibuka pada 8 Desember pukul 04.00 Waktu Amerika Serikat atau pukul 17.00 WITA dan untuk membuktikan bahwa penawar serius, maka diminta untuk memberikan deposit USD 100 ribu (Rp 1.621.600.000).

Pelelangan dilakukan oleh P.T Lidership Island Indonesia (LII). Hal ini dikarenakan karena P.T LII merupakan pemegang hak pengelolaan Kepulauan Widi berdasarkan MOU di tahun 2015 silam dengan Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan tentang Pengelolaan Kepulauan Widi. Dengan kesepakatan demikian hanya segilintir masyarakat yang mengetahui hal itu dan sebagian besar tidak mengetahui. Sehingga timbul pertanyaan “Pulau Widi milik siapa?”, karena dengan kesepakatan tersebut telah terjadi pemindahan kewenangan pengelolaan dari tangan pemerintah kepada korporasi. 

Tentu kita ketahui secara bersama bahwa tujuan dari korporasi bukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat tetapi keuntungan perusahaan. Artinya bahwa masyarakat sudah tidak lagi menjadi pemegang hak penuh terhadap pulau widi itu sendiri. padahal sudah jelas termaktub dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan bahwa “(1) Segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk gotong royong lainnya. (2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha-usaha dalam lapangan agraria”. Lebih lanjut, UU No 5 Tahun 1960 adalah penegasaan bahwa penguasaan dan pemanfaatan atas tanah, air, dan udara harus dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemakmuran bagi pembangunan masyarakat yang adil dan makmur. 

Sebagaimana yang telah tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 Undang Undang 1945 dikatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat”. Akan tetapi dalam penerapannya sering kita jumpai bahwa apa yang dinyatakan dalam Pasal 33 ayat 3 kadang tidak direalisasi, maka kepastian hukum di negara Indonesia yang merupakan The rule of law perlu di pertanyakan. 

Berangkat dari realitas sosial yang ada kekayaan Sumber Daya Alam (SDA)  kita di peruntukan hanya untuk orang-orang yang punya kuasa dan bukan masyarakat pada umumnya. Maka, secara tidak sadar pemerintah telah mencedarai apa yang telah menjadi ketentuan yang di atur dalam hukum negara kita. 
Ini adalah logika kapital yang coba dimainkan oleh pemerintah daerah maupun pusat yang di bungkus dengan kata “akuisisi modal” untuk bekerja sama dengan investor asing dalam mengembangkan kepulauan widi. Walaupun Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan  mengaku tidak mengetahui akan pelelangan tersebut. Ini merupakan salah satu bukti bahwa pengawasan Pemkab masih begitu minim terhadap kepulauan widi itu sendiri. Sehingga korporasi yang dalam hal ini adalah P.T LII melakukan tindakan yang sewenang-wenang.

Dari beberapa penjelasan diatas ini menunjukan secara jelas kepada masyarakat Gane dan rakyat seluruh Indonesia. Bahwa pemerintah lebih berpihak pada kepentingan kapitalisme. Maka kita perlu hati-hati karena kapitalisme dengan sifat dasarnya yakni akumulasi, eksploitasi, dan ekspansi sudah pasti akan menyingkirkan masyarakat dari ruang hidupnya. 

Olehnya itu pelelengan pulau widi merupakan bagian dari kapitalisasi sumber daya alam. Maka tugas kita bersama kaum muda, mahasiswa, buruh, tani, masyarakat Gane, dan seluruh rakyat Indonesia harus melawan kapitalisasi pulau widi sebab diam artinya kita ikut mengiyakan. Di akhir kalimat ini penulis tutup dengan kata “Pulau Widi Not For Sale”

Komentar

Bakti Terakhir Untuk Ayah

Bakti Terakhir Untuk Ayah (Part 3)